DI DEKAT jendela, di kursi 7F Garuda (Citilink), aku mengikat diri.
Ini perjalanan dari Balikpapan ke Jakarta, penerbangan dari timur
ke barat melintasi langit Januari yang bingung pada perangai
sendiri. Aku tak mampu terpejam dan bermimpi, selama dua jam
aku cuma mampu berpikir tentang pikiran kamu.
Pikiran kamu seperti langit—lapang dan senang berubah warna.
Aku cuma penumpang dari balik jendela pesawat, seorang yang takut
pada ketinggian tetapi mengabaikan petunjuk penyelamatan diri
yang diperagakan pramugari dengan tidak sungguh-sungguh.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang kamu gunakan
bertanya mengapa penerbangan selama dua jam yang berangkat
dari Balikpapan pukul 18.10 akan tiba di Jakarta pukul 19.10? Pikiran
yang sama kamu gunakan menjawab: sebab penerbangan dua jam pulang
dari Jakarta pukul 15.30 akan tiba di Makassar pukul 17.11. Aku merasa
sebagai pemenang dalam perhitungan itu. Aku berangkat ke kotamu
melawan waktu, perjalanan dua jam hanya kutempuh satu jam kadang
terasa cuma sepejam—tetapi kembali ke kotaku harus aku bayar
dengan perjalanan yang jauh lebih lama.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang kamu gunakan
bertanya tentang kota yang terbuat dari kemacetan dan korupsi,
menteri-menteri yang diganti dan tidak diganti, juga presiden
yang gampang diserang rasa prihatin kepada diri sendiri. Pikiran
yang sama kamu gunakan bertanya apakah aku sebaiknya dipertahankan
atau dilepaskan, diganti lebih lekas atau dibiarkan bertahan dalam ruang
antara sudah selesai atau masih andai.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang disebut orang tuamu
sebagai rumah sakit bersalin. Selalu ada anak yang lahir—cerita, puisi,
dan pemberontakan-pemberontakan yang kamu gunakan untuk menyakiti
diri sendiri. Pikiran yang bagi lelaki seperti aku kadang tempat berlibur,
hanya nyaman buat berakhir pekan atau menenangkan diri beberapa hari.
Atau kadang-kadang satu-satunya tempat tinggal layak huni di bumi.
Tetapi kemudian aku duga tempat di mana aku pernah ditunggalkan
lalu ditinggalkan dan ditanggalkan pemiliknya sendiri.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang sering menolak dikecup
dan ditakar dengan jawaban-jawabanku. Pikiran yang malah lebih sering
memilih terpekur memeluk pertanyaan-pertanyaan sendiri.
Pikiran yang kadang halaman rindang, kadang hutan yang
pohon-pohonnya belum ditebang, kadang cuma ladang-ladang
kerontang.
Pikiran yang pernah mengabaikan siapapun kecuali aku.
Pikiran yang pernah berniat selingkuh. Pikiran yang gampang
goyah tetapi gamang memutuskan sesuatu dan aku.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran selapang langit,
yang lihai melukis matahari, purnama, bulan kesiangan,
namun dihantui gerhana.
Pikiran yang berhadap-hadapan dengan lautan, yang selalu dahaga,
selalu siaga menumpahkan sesuatu yang basah seperti kesedihan.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang dilintasi pesawat
yang bergetar karena cuaca buruk yang datang tiba-tiba. Pikiran
yang dilintasi pesawat yang di dalamnya ada seorang duduk di dekat jendela,
memandang langit Januari yang bingung pada perangai sendiri, seorang
yang takut pada ketinggian tapi mengabaikan petunjuk penyelamatan diri—
seseorang yang rela jatuh melayang tanpa parasut di pikiran kamu.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang barangkali sedang ragu
mengecupkan kabar apa ketika lelaki yang duduk di kursi 7F itu selamat
tiba di bandara Soekarno-Hatta.
Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang sibuk menduga
apa maksud puisi yang dibacakan lelaki yang dalam perjalanan
sibuk berpikir tentang pikiran seseorang agar bisa menulis
dan membacakan sesuatu di dalam hatimu yang selalu bersajak "Aku Cinta Kamu".
Balikpapan-Jakarta; Minggu, 08 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.