Kamis, 24 Januari 2013

Kota Sejuta Angkot

Hai Bogor. Apa kabar?
Apakah kamu masih sejuk seperti dulu, ketika hujan sering turun, dan membuat rumput-rumputmu membasah indah. Sementara ketika hujan tak turun, kamu begitu terik. Lalu bertambah panas dengan angkutan umum berwarna hijau yang berseliweran memadati tubuh-tubuh jalananmu. Masihkah kamu menyediakan malam-malam indah? Dengan berbagai tempat makan murah meriah, dan yang teristimewa, tentu saja coklat panas di Taman Koleksimu. Sempurna, tak ada duanya.
Ah, kamu memang menyimpan banyak cerita untuku. Persahabatan, hingga cinta. Apakah kamu ingat ketika kami berkumpul bersama di awal sebuah pendidikan di kampus negeri ternama? Mencoba saling mengenal. mengakrabkan diri, lalu saling berbelanja di Taman Topi. Secara tak terencana kami masuk ke museum zoology. Kamu pasti ingat. Ketika beberapa dari kami merayu petugasnya untuk mendapatkan tiket murah. Karena kami hanya akan ke museum, tidak ke Kebun Raya. Tiket murah itu, akhirnya kami dapatkan dengan modal KTM (ups, sekarang jadi berasa curang, hehe). Lapar, kami pun berpindah ke Taman Kencana, saling bicara, juga bernyanyi lagu milik kami sendiri. Menikmati ayam bakar, sebelum akhirnya berlari-lari kecil karena titik-titik air mulai membasahimu. Hujan menuntun kami masuk ke kedai Makaronimu yang terkenal, berbagi menu andalannya, sambil menyeruput coklat panas.
Aku tak tahu pesona apa yang ada di dirimu, hingga membuat kami yang baru mengenal beberapa bulan, merasa cukup akrab untuk bercerita apa saja. Cita-cita, cinta, bahkan masalah keluarga. Beberapa kali aku menggigit bibir menahan tangis mendengar cerita mereka, juga ketika menceritakan ceritaku. Mereka, sahabat-sahabatku tak tahu. Tapi kamu tahu Bogor, kamu menyaksikannya.
Apakah kamu ingat satu hari di bulan puasa. Aku hampir kau buat menyerah. Ketika terikmu membakar ubun-ubun hingga tenggorokanku. Rasanya aku ingin memutus puasaku. Tapi tidak, Tuhan telah begitu baik memberikanku persahabatan yang indah, yang mengantarkanku menapaki terik panasmu. Hari itu, aku bersama seorang sahabat menuju kampus negeri terbesar yang kau miliki. Menghadap dosennya. Dan perjalanan setengah jam terasa bagai tiga jam, berbuah sebuah video tiga menit dari sang dosen kemudian memberikan kami inspirasi dengan semangatnya.
Wahai Bogor, setiap perjalananku dengan kereta menuju Jakarta lalu kembali lagi, selalu menumbuhkan berbagai kenangan, jauh sebelum sampai menyentuh bumimu. Pernah aku berdesak-desakan dengan rombongan orang-orang berjubah putih dan berpeci yang jumlahnya ribuan. Pernah aku berdiri tenang, tertawa bersama sahabat-sahabatku, berimajinasi panjang, dan geleng-geleng keheranan melihat sahabat kami tidur sambil berdiri di kereta. Pernah ada satu masa dimana aku menatap nanar perjalanan panjang. Merasa terpaksa menemuimu, di tengah patah semangatku yang belum sembuh. Karena kamu menyimpan kenangan yang mampu membuat semangatku terbuka kembali.
Ada masa dimana aku begitu mengagumimu, jatuh cinta padamu, dan terpikir untuk tinggal dalam buaianmu. Ingatkah kamu ketika aku menjelajahi beberapa sudutmu? Sebuah kampus, sebuah taman, sebuah museum, sebuah masjid, sebuah GOR Palaran, sebuah pasar, dan sebuah bioskop yang saat itu sangat murah hingga kucing saja bisa masuk dengan mudahnya. Saat itu aku sedang kesepian. Kamu pasti menyaksikan betapa debar jantungku berdegup terlalu kencang. Betapa sering aku tersenyum dan pipiku memanas. Kamu adalah titik awal, dimana perasaanku yang sudah beberapa bulan kupendam, rasanya ingin menumpah keluar. Lalu kamu menjadi titik awal, dimana sebuah hubungan indah berjalan, dan tiba-tiba hancur berantakan. Teramat singkat, teramat brutal, bahkan sebelum aku sempat tersadar aku kembali lagi ke Samarinda.
Tapi tentu saja, ceritaku tak berhenti sampai di situ. Begitupun kesaksianmu. Kamu lihat kan, betapa kuatnya aku. Saat  aku berjalan tanpa menunduk. Daguku kuangkat, senyumku mengembang. Aku memasuki hall salah satu Gymnasium-mu, berjalan mantap ke arah pelaminan, dan memberikannya selamat. Tersenyum, aku tahu aku tulus, dan aku baik-baik saja. Kamu, menyaksikan aku tumbuh menjadi dewasa, menjadi matang, dan lebih bijaksana.
Maka saat ini, kapanpun aku menapakimu. Aku siap menorehkan berbagai cerita yang baru. Menciptakan langkah ringan, penuh canda tawa. Memasuki Kedai murah, memesan nasi tim dan es teh manis. Menjelajah hingga sore, menyeruput coklat panas terenak sedunia. Menunggu malam bersama kawan-kawan, lalu makan ayam goreng Dallas.
Mungkin kamu bukan kota terhebat yang kupilih tuk berlabuh. Namun selalu ada cerita tentang cinta dan persahabatan setiap kali aku menyentuh sudut-sudutmu. Semoga kamu tak pernah bosan untuk menyaksikan dan menyimpan kisahku. Karena aku ingin sesekali mengunjungimu jika ada waktu hingga suatu saat nanti.
24 Januari 2013
Untuk kota sejuta angkot
Aku yang menitipkan jutaan kenangan padamu

Senin, 14 Januari 2013

Jiwa Orang Gila

Orang gila bermimpi suatu hari ia akan normal. 
Lalu orang gila menertawakan mimpi itu dan terbangun.
Aku bukan orang gila.
Aku hanya mengikuti kata jiwa.
Kata orang jiwaku hilang.
Memangnya, jiwa ada di mana?