Senin, 16 Mei 2011

Kebiasaan yang Memperkaya Hidup

1. Kebiasaan mengucap syukur.
Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik , tapi juga dalam kesussahan dan hari-hari yang buruk.. Ada rahasia besar dibalik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun , telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi diseluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku”. Memang sulit untuk bersyukur,namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat , kesehatan, keluarga, sahabat dsb. Lama kelamaan Anda bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.

2. Kebiasaan berpikir positif.
Hidup kita dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang Anda pikirkan. Kalau Anda terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera kearah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan Anda alami.

3. Kebiasaan berempati.
Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh banyak orang sukses. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain.Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain . Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif dibalik sikap orang lain. Ini berlawanan sekali dengan sikap egois , yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati , namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan apa yang Anda ingin orang lain lakukankepada Anda, dsb.

4. Kebiasaan mendahulukan yang penting.
Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah!. Jangan biarkan hidup Anda terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak, kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup Anda efektif dan produktif dan meningkatkan citra diri Anda secara signifikan.

5. Kebiasaan bertindak.
Bila Anda sudah mempunyai pengetahuan , sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan , maka langkah selanjutnya adalah bertindak. Biasakan untuk mengahargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Banyak orang yang gagal dalam hidup karena hanya mempunyai impian dan hanya mempunyai tujuan tapi tak mau melangkah.

6. Kebiasaan menabur benih.
Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya Anda akan menuai yang Anda tabur. Bayangkanlah , betapa kayanya hidup Anda bila Anda selalu menebar benih ‘kebaikan’. Tapi sebaliknya, betapa miskinnya Anda bila rajin menabur keburukan.

7. Kebiasaan hidup jujur.
Tanpa kejujuran , kita tidak bisa menjadi pribadiyang utuh, bahkan bisa merusak harga diri dan masa depan Anda sendiri. Mulailah membiasakan diri bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendir tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila Anda berbohong , kendalikanlah kebohongan Anda sedikit demi sedikit.

BANGUNLAH JEMBATAN… BUKAN TEMBOK

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Saling meminjamkan peralatan pertanian. Dan bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.

Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.

Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu. Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan,? kata pria itu dengan ramah. ?Barangkali tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan.?

Oh ya !? jawab sang kakak.

Saya punya sebuah pekerjaan untukmu.?

Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana . Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku.
Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan Airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang Memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, Tapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku Sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya.

Kata tukang kayu, Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat tuan merasa senang.?

Kemudian sang kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai Kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu.

Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru Saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya.

Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang Pertanian adiknya.

Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.

Dari seberang sana , terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki Jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar. Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu.

Maafkan aku? kata sang adik pada kakaknya. Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, Saling berjabat tangan dan berpelukan.

Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu,pinta sang kakak. Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini,? kata tukang kayu, tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan.

    TUHAN SELALU INGIN KITA BERSAMA DALAM DAMAI SEJAHTERA
    TUHAN SELALU INGIN MEMPERSATUKAN HATI KITA
    TUHAN SELALU INGIN KITA MENGASIHI SESAMA KITA, SAUDARA KITA.
    KARENA TUHAN ADALAH SAHABAT SETIA, PENOLONG KITA.
    PERCAYALAH BAHWA TUHAN SELALU INGAT PADA KITA MANUSIA

Sadarkah kita bahwa :
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan?

Kita lahir dengan dua telinga, satu kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari dua sisi dan dua arah. Menangkap pujian maupun kritikan, Dan mendengar mana yang salah dan mana yang benar.

Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di kepala, sehingga bagaimanapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Karena tak seorang pun dapat mencuri isi otak kita. Yang lebih berharga dari segala permata yang ada.

Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut.

Karena mulut tadi adalah senjata yang tajam , Yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh. Lebih baik sedikit bicara, tapi banyak mendengar dan melihat.

Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita. Untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk hati.

Belajar untuk mencintai dan menikmati untuk dicintai, tetapi Jangan pernah mengharapkan orang lain mencintai anda dengan cara dan sebanyak yang sudah anda berikan.

Berikanlah cinta tanpa mengharapkan balasan, maka anda akan menemukan bahwa hidup ini terasa menjadi lebih indah.

Pentingkah senyuman itu?

Senyum sebenarnya adalah salah satu harta yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dikatakan demikian, sebab senyum bisa mengubah banyak sekali
hal. Sedih jadi gembira, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik, suasana beku jadi cair, hanyalah sebagian saja dari sekian banyak dampak senyum.

Di banyak masyarakat yang memiliki tradisi senyum yang memadai, angka perceraian, pencopetan, perkelahian, pembunuhan dan sejenisnya jauh
lebih rendah dibandingkan masyarakat yamg miskin senyum. Ini sekaligus membuktikan, kontribusi senyum terhadap pertumbuhan masyarakat dan
sehatnya masyarakat tidaklah kecil.

Sayangnya, kendati kontribusinya besar, secara cepat dan menyakinkan sudah terjadi penyusutan senyum di mana-mana, entah di kota
maupun di desa, di negara maju maupun negara sedang berkembang, di kota metropolitan maupun kota kecil, di perusahaan maupun di masyarakat,
semua terkena gejala penyusutan senyum.

Mirip dengan gejala narkotika dan obat-obat terlarang, ia merambah dan menular kemana mana. Kalau narkoba jelas sekali bagian masyarakat yang
mau dihancurkan dan diruntuhkan, Kalau senyum, memang tidak memberi dampak cepat dan langsung, namun terasa sekali degradasi yang
ditimbulkan dimana-mana, Kebencian, perceraian, peperangan,permusuhan, tim yang tidak bisa kerja, hanyalah sebagian saja dari bukti degradasi
yang diakibatkan oleh menyusutnya kuantitas dan kualitas senyum.

Di tempat kerja, kita menyaksikan hubungan antar manusia yang demikian kaku dan kering. Di dunia politik dan manajemen publik, kita
menemukan konflik, hujat menghujat, saling menyalahkan di hampir setiap pojokan, Di dalam dunia hubungan inter dan antar agama, tidak sedikit
yang menempatkan agama sebagai sekat-sekat pemisah yang membahayakan, Di dunia keluarga, perceraian bertambah dengan angka-angka yang amat meyakinkan. Sebagaimana ditemukan oleh sebuah hasil penelitian di Amerika Serikat, semakin tinggi earning power wanita maka semakin
tinggi angka perceraian. Ini bukan menunjukan sisi negatif dari wanita bekerja, namun, betapa lembaga keluarga sebagai benteng terakhir
masyarakat, secara cepat dan menyakinkan sedang dan akan runtuh.

Semua kecenderungan ini memang disebabkan oleh banyak sekali faktor.Yang jelas, entah sebagai akibat maupun sebab, senyum mempunyai
pengaruh yang tidak kecil dalam hal ini. Sosiolog, antropolog, dan psikolog boleh saja memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Boleh
saja orang memulai dengan terapi-terapi makro seperti reformasi, namun tanpa perubahan di sektor mikro seperti senyum, susah diharapkan ada
penyelesaian yang total dan subtansial.

Menurut pendapat saya, senyum - lebih lebih yang mengakar dalam sampai tingkatan jiwa - bisa memberikan radiasi yang amat luas dalam
penyembuhan perusahaan dan masyarakat. Sebab ia tidak saja berpengaruh pada hubungan antar perseorangan. Namun, juga pada spirit lingkungan
sosial secara keseluruhan.

Bercermin pada lingkungan sosial kota besar, spirit penuh senyum inilah yang merosot dimana-mana, sekaligus memberikan spirit negatif
dimana-mana. Bayangkan sebuah komunitas yang amat mudah berbagi senyum. Bertemu setiap orang, dimulai dengan senyum. Ada maupun tidak ada pemberian, senyum tetap hadir. Semua kegiatan dimulai dan diakhiri dengan senyum. Alangkah teduh dan sejuknya lingkungan sosial seperti
ini.

Dengan tetap bersyukur kepada Tuhan, setiap kali naik ke tangga karier yang lebih tinggi, apalagi menjadi pimpinan puncak perusahaan,
saya merasakan kehilangan saya terhadap senyum sangat besar. Di Tangga karier yang rendah dulu, terasa sekali mulut akan
tersenyum langsung setiap kali bertemu orang, setiap kali bersalaman dan melakukan kegiatan lainnya. Apalagi bila habis diberi sesuatu oleh
orang lain. Seperti ada saklar otomatis yang mengatur senyum setiap kali bertemu orang.

Namun, di tangga karier sekarang, saya telah dan sedang diproduksi oleh lingkungan kepemimpinan yang memaksa saya pelit dengan
senyum. Wibawa, efektivitas kepemimpinan, otoritas adalah sebagaian hal yang membuat pemimpin jadi miskin senyum. Lebih-lebih bagi mereka
yang pernah diinjak orang gara-gara dekat dengan bawahan dan banyak senyum. Hampir pasti, saklar otomatis senyum akan macet dan ogah
bekerja.

Pertanyaan yang muncul dari sini, apakah jabatan yang lebih tinggi membuat orang mengurangi senyum? Saya tidak tahu pengalaman anda, namun
dalam rangkaian pengalaman saya, jabatan memang berkorelasi negatif dengan kuantitas senyum. Semakin tinggi jabatan maka senyum cenderung
semakin sedikit.

Alangkah ideal dan mengagumkan kalau ada orang yang bisa sampai tingkatan jabatan yang tinggi, namun memiliki kuantitas dan kualitas
senyum yang malah meningkat. Wibawa, kharisma dan efektivitas kepemimpinan tidak menurun sedikitpun dengan banyaknya senyuman. Saya
memang belum sampai di tataran ideal dan mengagumkan ini. Dan juga sedang mencari pemimpin yang memiliki skor tinggi baik di sektor senyum
maupun wibawa dan kharisma.

Yang jelas, kehadiran pemimpin yang tinggi di dua sektor diatas, akan memperingan tugas kemasyarakatan yang ditandai oleh langkanya
senyum. Lebih-lebih kalau kita secara bersama-sama juga rajin membagi senyum setiap hari. Mungkin akan amat bermanfaat bila bertanya ke
setiap orang setiap hari :

Sudahkah Anda tersenyum hari ini ?

Malu Mengeluh

Pernahkah anda mendengar seseorang mengatakan bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka berkeluh kesah? Saya mendengar itu sudah sangat lama. Mungkin ketika saya masih kecil. Dan sekarang setelah memasuki usia dewasa, saya mendapati bahwa hal itu benar adanya. Kenyataannya, sangat mudah bagi kita untuk mengeluhkan tentang ini dan itu. Kita bisa mengeluh tentang penghasilan. Kita bisa mengeluh tentang pekerjaan. Tentang kesehatan. Tentang atap rumah yang bocor. Tentang jerawat yang membandel. Tentang sariawan akibat bibir tergigit secara tidak sengaja. Bahkan, kita mengeluh karena terlalu banyak hal yang harus kita keluhkan. Lantas, kapan kita akan berhenti mengeluh?


Belum lama ini saya bertemu dengan seseorang yang saya kagumi. Sebenarnya, pertemuan itu dijadwalkan untuk melakukan wawancara supaya saya bisa memahami kebutuhan perusahaan itu akan program pelatihan yang saya fasilitasi. Selama proses wawancara itu, kami merasa mulai akrab satu sama lain, sehingga kami tidak menyadari bahwa sebelumnya kami sama sekali tidak saling mengenal. Oleh karena itu, setelah semua hal yang saya agendakan untuk didiskusikan dalam wawancara itu selesai, ada perasaan aneh yang kami rasakan, yaitu; kami seolah belum ingin berhenti berdiskusi. Walhasil, pembicaraan kami memasuki ’topik’ yang sifatnya lebih personal. Tepatnya, tentang ’konsep diri’ masing-masing. Lebih tepatnya lagi; saya mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan konsep diri beliau. Sebab, saya lebih banyak mengeksplorasi dan mendengar daripada mengemukan pandangan saya sendiri.


Ada begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan. Namun, satu hal yang bisa saya paparkan disini adalah tentang pandangan beliau mengenai rasa malu. Rasa malu? Ya, rasa malu. Tetapi, ini bukan rasa malu kita dihadapan sesama manusia. Melainkan rasa malu kepada Tuhan. Hebatnya lagi, orang yang saya kagumi ini mampu menggambarkan pelajaran penting itu dalam sebuah kalimat sederhana. Maaf, bukan kalimat, melainkan sebuah frase yang dibangun oleh dua kata, yaitu;’Malu Mengeluh’.


Jika kita merasa malu untuk berlari-lari dijalanan dengan tubuh tanpa busana, maka kita tidak akan melakukannya. Itu pasti. Kecuali jika kita sudah kehilangan akal sehat; maka apapun tidak akan membuat kita malu. Bayangkan, apa yang terjadi jika seseorang merasa malu untuk mengeluh. Dia malu kepada Tuhan jika harus mengeluh. Lho, bukankah orang bijak menyarankan agar kita mengadukan segala permasalahan yang kita hadapi itu kepada Tuhan? Benar. Namun, mengeluh bukanlah istilah lain dari frase ’mengadukan setiap permasalahan kepada Tuhan’.


Ketika kita mengadukan persoalan hidup kepada Tuhan, kita mengakui bahwa diri ini memang lemah. Dan kita berharap agar Tuhan berkenan untuk memberikan bantuan. Sedangkan mengeluh? Ini beda. Sebab, ketika kita mengeluh kita merasa ada sesuatu yang salah dengan takdir ini. Sehingga, ketika mengeluh sesungguhnya kita seperti menyalahkan nasib atas semua hal yang kita alami. Padahal, ada banyak bukti bahwa keluhan yang kita lontarkan selalu bersumber kepada kurangnya rasa syukur kita atas semua pencapaian yang sudah kita raih. Itulah sebabnya, mengapa ’mengeluh’ itu bukan monopoli orang susah. Orang yang sukses pun sangat terampil mengeluh. Ibaratnya, si A mengeluhkan nasibnya yang tidak sebaik si B. Sebaliknya, si B mengeluhkan takdirnya yang tidak senyaman si A. Anehnya, jika saja si A dan si B saling bertukar posisi; belum tentu mereka akan berhenti mengeluh.


Sahabat baru saya itu bercerita tentang berbagai pencapaian yang pernah diraihnya. Baik pencapaian karir profesionalnya, maupun pencapaian dalam bidang kehidupan lain. Semua itu cukup untuk membuat saya mengagumi semua pencapaian beliau. Tidak banyak orang yang bisa seperti dirinya. Tentu saya tidak bermaksud melebih-lebihkan. Karena kenyataannya manusia memang tidak sempurna. Namun, diantara ketidaksempurnaan itu; ada orang-orang yang amat diberkati. Lalu dia berkata; ”Itulah sebabnya, saya merasa malu untuk mengeluh……”

Saya tersentak mendengar itu. Sebab, kalimat itu benar-benar menohok jantung saya. Memang, tidak ada satu manusia pun yang kehidupannya selalu indah. Sebab, kita percaya bahwa kehidupan itu seperti roda. Kadang diatas, kadang dibawah. Tetapi, orang-orang yang senantiasa berterimakasih atas semua pengalaman diri ketika roda kehidupannya tengah berada diatas; adalah mereka yang tidak hendak menghapus semua keindahan itu dengan kesulitan yang dia hadapi saat roda kehidupan tengah menekannya dibawah.


Ketika kita sungguh-sungguh berterimakasih atas sebuah berkat, maka kita tidak akan mengeluh ketika tengah diuji dengan sebuah situasi sulit. Sebaliknya, kita semakin berterimakasih karena ternyata nikmat yang dulu pernah didapat itu begitu bernilai. Dan ketika kita begitu khusyuknya bersyukur, kita lupa untuk mengeluh. Bahkan, sekalipun kita ingat; kita tidak jadi mengeluh. Karena, kita malu untuk mengeluh. Oleh karenanya, yang terucap dan tertindak tiada lain adalah ungkapan penghargaan atas semua kenikmatan yang telah Tuhan anugerahkan. Sekalipun Tuhan tengah mengujinya, tetapi kita merasa malu mengeluh. Lalu kembali berterima kasih. Duh, betapa santunnya seorang hamba ketika terus berterimakasih, bahkan ketika tengah berada dalam ujian. Pantaslah jika semakin hari, dia semakin disayang oleh Tuhan.
Mari Berbagi Semangat!

Tips Mengatasi Rasa Malas

Rasanya banyak diantara kita yang punya “penyakit” suka menunda-nunda pekerjaan. Penyakit ini, yang sebetulnya adalah kebiasaan, seringkali disebabkan karena kita malas mengerjakan sesuatu. Malas bangun dari tempat tidur, malas pergi olahraga, malas menyelesaikan tugas kantor, dll.

Menurut penelitian, kebiasaan malas merupakan penyakit mental yang timbul karena kita takut menghadapi konsekuensi masa depan. Yang dimaksud dengan masa depan ini bukan hanya satu atau dua tahun kedepan tetapi satu atau dua menit dari sekarang. Contohnya saja ketika Anda malas dari bangun, Anda akan berkata dalam hati: “Satu menit lagi saya akan bangun”, tetapi kenyataannya barangkali Anda akan berlama-lama di tempat tidur sampai akhirnya memang waktunya tiba untuk siap-siap pergi ke kantor.

Kebiasaan malas timbul karena kita cenderung mengaitkan masa depan dengan persepsi negatif. Anda menunda-nunda pekerjaan karena cenderung membayangkan setumpuk tugas yang harus dilakukan di kantor. Belum lagi berhubungan dengan orang-orang yang Anda tidak sukai, misalnya.

Sayangnya, menunda-nunda pekerjaan pada akhirnya akan mengundang stress karena mau tidak mau satu saat Anda harus mengerjakannya. Di waktu yang sama Anda juga mungkin punya banyak pekerjaan lain.



Dalam beberapa hal, Anda pun mungkin akan kehilangan momen untuk berkembang ketika Anda mengatakan “tidak” terhadap sebuah kesempatan –Anda malas bertindak karena bayangan negatif tentang hal-hal yang memberatkan didepan.

Di artikel ini saya ingin memberikan beberapa tips untuk mengatasi rasa malas. Tips ini bisa Anda praktekkan di tempat kerja ataupun lingkungan keluarga:

Ganti “Kapan Selesainya” dengan “Saya Mulai Sekarang”

Apabila Anda dihadapkan pada satu tugas besar atau proyek, Anda sebaiknya JANGAN berpikir mengenai rumitnya tugas tersebut dan membayangkan kapan bisa diselesaikan. Sebaliknya, fokuslah pada pikiran positif dengan membagi tugas besar tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan menyelesaikannya satu demi satu.

Katakan setiap kali Anda bekerja: “Saya mulai sekarang”.
Cara pandang ini akan menghindarkan Anda dari perasaan terbebani, stress, dan kesulitan. Anda membuat sederhana tugas didepan Anda dengan bertindak positif. Fokus Anda hanya pada satu hal pada satu waktu, bukan banyak hal pada saat yang sama.

Ganti “Saya Harus” dengan “Saya Ingin”

Berpikir bahwa Anda harus mengerjakan sesuatu secara otomatis akan mengundang perasaan terbebani dan Anda menjadi malas mengerjakannya. Anda akan mencari seribu alasan untuk menghindari tugas tersebut.

Satu tip yang bisa Anda gunakan adalah mengganti “saya harus mengerjakannya” dengan “saya ingin mengerjakannya”. Cara pikir seperti ini akan menghilangkan mental blok dengan menerima bahwa Anda tidak harus melakukan pekerjaan yang Anda tidak mau.

Anda mau mengerjakan tugas karena memang Anda ingin mengerjakannya, bukan karena paksaan pihak lain. Anda selalu punya pilihan dalam kehidupan ini. Tentunya pilihan Anda sebaiknya dibuat dengan sadar dan tidak merugikan orang lain. Intinya adalah tidak ada seorang pun di dunia ini yang memaksa Anda melakukan apa saja yang Anda tidak mau lakukan.

Anda Bukan Manusia Sempurna

Berpikir bahwa Anda harus menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin akan membawa Anda dalam kondisi mental tertekan. Akibatnya Anda mungkin akan malas memulainya. Anda harus bisa menerima bahwa Anda pun bisa berbuat salah dan tidak semua harus sempurna.

Dalam konteks pekerjaan, Anda punya kesempatan untuk melakukan perbaikan berulang kali. Anda selalu bisa negosiasi dengan boss Anda untuk meminta waktu tambahan dengan alasan yang masuk akal. Mulai pekerjaan dari hal yang kecil dan sederhana, kemudian tingkatkan seiring dengan waktu. Berpikir bahwa pekerjaan harus diselesaikan secara sempurna akan membuat Anda memandang pekerjaan tersebut dari hal yang besar dan rumit.

Saya harap tulisan ini berguna. Kemalasan merupakan sesuatu yang normal dalam hidup Anda. Karena dia normal maka dia pun bisa diatasi. Tiga tips diatas bisa menjadi awal untuk berpikir dan bertindak berbeda dari biasanya sehingga Anda tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang hanya karena malas mengerjakannya.

Shift Your Focus to Let Go, NOT to What You Want

Saat kita mencoba mengerjakan sesuatu dengan niat yang terfokus (focused intent), yang terjadi kita menggunakan conscious mind (otak kiri). Hal ini membatasi kita untuk mengakses unconscious mind (right brain) yang memiliki kemampuan processing bermilyar-milyar kali lebih cepat dibanding si conscious.

Dalam banyak buku self-help sering diterangkan bagaimana kita membuat intent (niat) untuk mencapai apa yang kita inginkan. Selama ini banyak orang yang beranggapan intent sebagai “something that we want to happen”. Oleh karena itu conscious mind kita berusaha mencari intent yang positif dan membahagiakan.

Seringnya kita diajari bagaimana membuat intent yang sifatnya 3P: Positive, Precise, Present. Jadi intent didefinisikan diawal dan diusahakan untuk terjadi karena kita percaya skenario seperti itu yang paling bagus. Intent seperti ini bisa saja berhasil. Namun biasanya saat tidak berhasil, kita mungkin merasa gagal dan berpikir ada proses yang salah.

Conscious mind kita memiliki kemampuan terbatas. Hanya mampu memproses 5-10% dari realita yang terjadi. Oleh karenanya, intent yang kita definisikan dari conscious mind bersifat limiting (membatasi). Kita cenderung fokus pada apa yang kita inginkan. Disitu ada wanting (keinginan) dan expectation (harapan), yang apabila tidak terpenuhi bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa frustasi. Akhirnya kita merasa tidak berdaya karena gagal mencapai yang kita inginkan.

Mendefinisikan intent dari conscious mind memberi kesan seolah-olah kita tahu yang terbaik, padahal barangkali ada lagi yang lebih baik kalau kita bersedia untuk let go (berserah diri).

Untuk mengakses the power of Unconscious Mind, fokus kita bukan pada “apa yang kita inginkan” tapi justru pada “let go”. Dengan let go kita melepaskan diri dari expectation tentang bagaimana segala sesuatunya mesti terjadi. Lantas kita pun membuka diri untuk menerima skenario lain yang lebih baik dibanding skenario yang kita pilih. Let go mengizinkan kita untuk bersyukur dalam menerima apa yang kita inginkan dan juga merasa nyaman untuk menerima seandainya yang kita inginkan itu tidak terjadi. Dalam kondisi ini kita tidak merasa powerless atau gagal.

Unconscious mind memiliki kemampuan processing bermilyar-milyar kali lebih cepat dibanding si conscious. Melalui let go kita mengaktifkan unconscious mind yang memiliki akses ke infinite potentials (potensi tak terbatas) di alam raya ini.

Bagaimana caranya kita fokus pada let go, bukan pada apa yang kita inginkan?

Misalnya Anda sedang mengalami kesulitan finansial. Fokus Anda bukan pada intent yang 3P, dimana Anda ingin Rpxxxx uang misalnya. Anda cukup bertanya, misalnya: “Seandainya kondisi finansial saya berbeda, apa yang saya rasakan?” Jadikan pertanyaan ini sebagai INTENT. Lantas observe (perhatikan) apa yang BERBEDA - bukan apa yang sama - dari feeling Anda. Tanyakan sekali lagi, misalnya: “Seandainya keinginan saya untuk punya uang tidak ada, bagaimana rasanya?”. Perhatikan feeling yang berbeda dan rasakan.

Barangkali Anda lantas merasa ada kelegaan di hati. Anda mungkin melihat gambar balok es mencair. Barangkali Anda mendengar suara yang bilang "sebentar lagi kamu kaya". Apa saja, yang jelas tanpa dibuat-buat. Melalui hati, rasakan seolah-olah apa yang Anda inginkan sudah terjadi sekarang. Perhatikan dan rasakan semua ini kemudian LET GOOOOOOOOOOO.

Seorang teman mempraktekkan ini dan beberapa jam kemudian dia memperoleh uang beberapa juta. Jauh melampaui “wildest imagination”nya, karena expectationnya sudah di let go. Seorang teman lain sembuh dari penyakit yang sudah menahun. Hanya cukup dengan bertanya dan let go.

Intinya: fokus kita bukan pada apa yang kita inginkan, tapi pada let go. Izinkan unconscious mind kita yang dengan multi-processor nya bekerja tanpa diganggu oleh kekhawatiran atau dan keragu-raguan.

Life is a Game

Apa makna hidup ini untuk anda?  Macam-macam ya?  Mungkin anda memaknainya sebagai perjuangan, belajar, ibadah, dan sebagainya.  Semua itu tentu sah-sah saja.  Yang penting masih di dalam koridor kebaikan.

Memaknai hidup secara definitif sangat penting bagi kita.  Dengannya kita akan menjalani hidup itu dengan kejelasan.  Tujuan yang jelas.  Arah yang jelas.  Aturan yang jelas.  Proses yang jelas.  Meski demikian, kita tidak akan kehilangan fleksibelitas, warna dan variasi dalam hidup.

Tulisan ini memberikan alternatif makna hidup itu tanpa mesti mengesampingkan makna hidup yang anda yakini sekarang.  Alternatifnya yaitu: “Life is a game.  Hidup adalah permainan”.

Apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar kata ‘games’?  Mungkin Play Station, menyenangkan, asyik, games di computer, level, hadiah, menang, kalah, bisa diulang, dan sebagainya.  Nah, hidup ternyata banyak sekali kesamaannya dengan permainan di Play Station itu.

Jadi, ketika anda memaknai hidup anda sebagai permainan, maka anda sadar bahwa:

* Anda dapat menikmati hidup anda, apapun yang terjadi.

Susah senang bisa anda nikmati.  Menikmati kesenangan tentu sudah biasa, tapi menikmati kesusahan?  Nah, di situlah letak keasyikan permainan hidup ini.

* Anda dapat mengulang hidup anda.

Memperbaiki kesalahan-kesalahan tanpa terbebani olehnya.  Karena kesalahan adalah hasil tindakan.  Dan tindakan adalah muara dari bergeraknya potensi-potensi anda.  Jadi, apa salahnya dengan kesalahan?  Ia sudah terjadi.  Jangan menyalahkan kesalahan.  Tak ada gunanya.

* Anda berada di suatu level permainan tertentu dengan berbagai masalah dan tantangannya.

Dengan terus main, anda akan dapat melewati level itu dan memasuki level baru yang lebih mengasyikkan.

* Semua orang di dunia ini adalah kawan-kawan anda.

Anda akan menemukan bahwa sebenarnya orang-orang di sekitar anda – apakah mereka baik atau buruk sikapnya – adalah kawan main dalam game of life anda. Mau kah anda main sepak bola tanpa lawan?  Dengan lawan yang sepadan, permainan akan menggairahkan.  Karena itu, pada hakikatnya semua orang adalah kawan ‘main’ anda.

* Anda terbebas dari semua ketakutan yang tidak perlu.

Dengan menjadi pemain dalam game of life, mengalami hal-hal yang misterius (hal-hal yang  tadinya anda takuti) jauh lebih berharga dari kehilangan hal-hal yang anda miliki.  Dan untungnya, gairah untuk main itu justru membuat hal-hal yang ditakutkan itu tidak terjadi.

* Anda bisa dengan lebih mudah memperoleh hal-hal yang anda inginkan.

Dengan menjadi pemain dan terlepas dari ketakutan, anda membebaskan potensi-potensi anda.  Anda mengaktifkan salah satu law of life yang sangat kuat yaitu, The Law of Attraction, Hukum Tarik Menarik.  Anda pun bisa focus pada hal yang anda inginkan, bukan hal yang menghalanginya.  Dan ketika anda focus pada keinginan anda, anda memusatkan sumberdaya anda padanya.  Anda kembali mengaktikan Law of Life lain :  The Law of Action.  Inilah juga yang membuat keinginan itu lebih mudah anda dapatkan.

* Anda bisa hidup penuh ketenangan.

Anda sadar anda adalah pemain yang sebenarnya tak punya apa-apa.  Anda hanya diberi hak untuk bermain.  Orang yang tak punya apa-apa tidak akan kehilangan apa-apa.  Inilah anugerah yang luar biasa dari Yang Maha Kuasa.  Tidak punya apa-apa, tapi boleh main dan menikmatinya.   Wow…

* Ada aturan-aturan main yang justru membuat anda bebas.

Ada aturan dalam setiap permainan, termasuk permainan hidup.  Aturan ini ada agar para pemain bisa bebas bermain.  Tanpa aturan, pada hakikatnya tidak ada kebebasan.

* Anda menjadi pemain, bukan korban permainan.

Dengannya anda betul-betul bisa memegang kendali atas hidup anda.  Berbeda dengan orang-orang yang tidak menjadi pemain.  Mereka seperti robot yang tak punya kendali atas diri mereka sendiri.   Mereka dikendalikan oleh tiga hal : orang lain, hal-hal yang mereka miliki dan hal-hal yang terjadi pada diri mereka.  Para pemain sebaliknya.

Karena itu, jadilah pemain.  Ambil keputusan tegas untuk menjadi pemain.  Hidup anda dan diri anda sendiri terlalu berharga bila anda hanya menjadi korban permainan.  Jadilah pemain.

Buat orang-orang di sekitar anda untuk menjadi pemain juga.  Jangan buat mereka menjadi korban permainan anda.  Bila anda melakukannya, akan datang saatnya ketika anda yang menjadi korban.  Tidak ada yang lebih tragis dari seorang pemain yang mengira dirinya pemain, padahal ia adalah korban.  Korban siapa? Korban permainannya sendiri. 

Kealamian Ditemukan Dalam Diam

Kesibukan kerja yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat saya memiliki jadwal terbang yang cukup padat. Hampir setiap minggu saya terbang. Beberapa pramugara dan pramugari Garuda bahkan mengenali saya karena terlalu sering bertemu di pesawat. Bahkan, ada yang bercanda dan mengatakan kalau saya ini laki-laki panggilan. Dan tentu saja mereka benar, karena saya teramat sering dipanggil orang untuk urusan jadi pembicara publik dan konsultan. Namun, terlepas
dari godaan dan canda terakhir, ada sebuah kegiatan yang kerap saya lakukan kalau sedang terbang : melihat dan mengamati awan.

Kadang ada hamparan awan yang serupa dengan salju yang putih bersih dan terhampar luas. Ada juga awan yang tipis dan terbang ringan ditiup angin. Ada juga awan tebal dan hitam yang kerap membuat pesawat bergoyang-goyang keras. Namun, apapun warna dan jenis awannya, awan memiliki kemewahan luar biasa yang tidak dimiliki kita manusia : kebebasan dan keikhlasan.

Ingin rasanya memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan sebagaimana awan. Dan semakin dicermati serta dipelajari, apa lagi diselami dalam samudera-samudera kalbu yang maha luas, rupanya kita manusia juga bisa memiliki kualitas-kualitas terakhir. Ada yang menyebutnya sulit tentunya. Ada juga yang mengatakan tidak mungkin. Apapun halangannya, izinkan saya bertutur ke Anda, halangan-halangan manusia yang menggembok kita untuk memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan
seperti awan.

Sebagaimana dituturkan dan diyakini banyak penulis, akar dari semua ketidakbebasan dan ketidakikhlasan manusia adalah mind. Oleh karena berbagai sebab dan faktor, mind manusia telah berkembang menjadi kekuatan-kekuatan pengikat yang demikian memasung. Ia yang tadinya lahir secara alami, jernih, teduh dan terang, oleh pengalaman dan pendidikan sudah dirubah menjadi kekuatan-kekuatan yang sebaliknya. Depresi, stress, penderitaan, pandangan yang tidak jernih dan apapun
namanya semuanya bermula dari rantai pengikat terakhir. Bedanya dengan rantai sebenarnya yang bisa dimintakan tolong orang lain untuk membukanya, rantai mind diciptakan dan mesti dibuka oleh pemiliknya sendiri.

Memang, ada banyak sebab yang tersembunyi di balik hidup yang dirantai mind. Salah satu yang layak untuk diperhatikan adalah pendidikan dan pengalaman. Oleh dua faktor terakhir, banyak manusia yang sudah kehilangan sifat alami mind-nya. Pendidikan yang pada awalnya diniatkan berfungsi sebagai jendela-jendela kejernihan, malah
berkembang sebaliknya. Melalui logika-logikanya yang keras (baca : benar-salah), ia telah membawa banyak peserta didik terasing dari kealamiannya sendiri. Pengalaman juga serupa, ia memang bisa menjadi guru terbaik, namun tidak jarang terjadi, ia juga menghadirkan peta- peta dari masa lalu yang kerap membuat orang jadi terasing dari
kesehariannya.

Sebagaimana diyakini banyak orang dalam tradisi Zen, perjalanan hidup sering diibaratkan dengan perjalanan dari satu tempat, dan berakhir di tempat yang sama. Dan ketika kembali, manusia seperti melihat tempat tadi untuk pertama kalinya. Ini berarti, setinggi apapun pengetahuan, sebanyak apapun pengalaman orang, layak dipertimbangkan untuk kembali ke tempat di mana kita memulainya dulu. Dan siapapun manusianya, semua memulainya di tempat yang alami.

Coba perhatikan suara bayi yang baru lahir. Entah itu di Inggris maupun Prancis, di Australia atau di Amerika, semuanya memiliki suara tangisan yang amat serupa. Demikian juga dengan anak-anak yang memulai dunia sekolah, semuanya mulai dengan belajar huruf dan angka. Setiap anak-anak memulai kehidupan intelektualnya dengan serangkaian pertanyaan – bukan jawaban. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam mind manusia, ia mulai dengan sebuah kealamian. Sayangnya,
kealamian yang menjadi awal sekaligus akhir ini, oleh upaya sengaja maupun tidak sengaja, sudah mulai terkikis secara meyakinkan dalam kehidupan banyak orang.

Di kota-kota besar di mana kepintaran, kecerdikan dan keahlian dipuja- puja sebagai mesin uang yang meyakinkan, kealamian bahkan diberi stempel menyedihkan : lugu dan bodoh. Maka bisa dimaklumi, kalau kota besar disamping memproduksi banyak uang, ia juga memproduksi keterikatan-keterikatan yang membuat manusia terasing. Coba lihat anak-anak yang terkena narkoba, angka perceraian yang meningkat tajam, perampokan yang mengerikan, atau penyakit korupsi yang tidak sembuh-sembuh. Bukankah terjadi kebanyakan di kota-kota di mana kealamian diidentikkan dengan keluguan dan kebodohan ?

Mungkin saja saya bisa, atau mungkin saja Anda menyebut saya lugu dan bodoh, namun kealamian di manapun adalah sahabat kejernihan, kejujuran dan bahkan kebijakan. Dan berbeda dengan pendidikan serta pengalaman, yang mengenal wacana sebagai kendaraan kemajuan. Kealamian malah berjalan sebaliknya, ia sering kali tersembunyi rapi dalam silence. Makanya, saya masih ingat sekali apa yang pernah dituturkan seorang sahabat dengan kehidupan meditatif yang mengagumkan : naturalness is found in silence.

Belajar dari sini, ada baiknya kalau kita kembali merenungkan sifat- sifat alami mind kita. Tidak untuk dinilai, apa lagi untuk dihakimi. Sebagaimana awan, kita hanya memerlukan satu kegiatan : diam. Apa lagi diam yang dibimbing oleh keikhlasan, bukan tidak mungkin kejernihan menjadi sahabat karibnya sang hidup.