Jumat, 07 September 2012

Rinduku manyun

Betulkah itu, ketika kamu bilang kamu pemulung rindu?
Karena rinduku berceceran di aspal berdebu.

Rinduku mengeriap di balik batu-batu kecil.
Kata mereka, rindu tersangkut, terjepit di tengah tenggorokan sungai tabu.

Rinduku tabu. Begitu tabu, teronggok berdebu. 
Begitu pekat, tenggorok tercekat.
Rinduku buta. Buta seperti awan biru. 
Buta dan kehilangan tongkat. Tersandung, mengaduh-aduh.
Rinduku manyun. Badut dan anak-anak. 
Bibir merah dan rambut acak. Rinduku malu. 
Tertelan tawa bidadari dalam bak sampah.
Rinduku heran. Terkesiap pelan. 
Detik-detik beku, semesta bisu, pilu.
Hai, kamu, kuning di tengah hitam. 
Hakimi saja rinduku. Lalu mengadu pada diam.
Berdiri di tengah gila. Terpaku pada gelisah. 
Rinduku, kapankah akan habis oksigen dalam tabungmu?
Susah. Rinduku benci matematika. 
Tak bisa hitung hari-hari, detik-detik berjuta-juta. 
Rinduku pusing. Matematika sulit.
Rindu. Rindu. Rindu. 
Pemiliknya sedang mencumbu candu. 
Rinduku beradu. Memicu riuh, menyesap malu. 
Aduh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.