saban jelang lebaran sepasang pohon itu mengajak pulang
mereka berdiri menjaga kampungku dari para pendatang
itulah mengapa orang memberi nama pohon gerbang
kalian akan paham jika suatu kali datang bertandang
pohon sepasang itu sudah amat tinggi menjulang
batang kokoh dan daun-daunnya sungguh rindang
melihatnya aku selalu berpikir mereka dua orang
satu berdiri di kanan jalan, satu di sisi seberang
pada bulan-bulan kering, di bawah matahari siang,
orang-orang senang bernaung menanti datang petang
pada malam hari tempat cengkerama para lajang
menemukan mereka bercumbuan tidaklah jarang
di musim-musim penghujan dedaunnya saling silang
aku membayangkan seperti tangan kekasih dua pasang
ulur-berulur menjangkau ingin berdekap berbagi sayang
lari dari dingin cuaca meski dilerai jalan membentang
lebaran tahun lalu aku saksikan daunnya makin kurang
sepasang orang itu seperti nenek kakek tinggal tulang
pikirku tak lama lagi seseorang akan datang menebang
oh, mayat mereka akan terlentang sungguh panjang
setelah uang saku hilang, juga tak ada tabungan, gaji kurang
kalau mau pulang ke sana-sini aku harus mencari utang
maka lebaran kali ini sayang aku tidak mampu pulang
di tidurku dua pohon itu tak henti terbayang-bayang
lewat tetangga aku titip salam kepada pohon gerbang
tetapi, katanya, dua pohon itu dua bulan lalu tumbang
saling bersilang di tengah jalan menyusahkan orang-orang
seperti lebaran di kampung, pohon gerbang tinggal kenang.
2010
Saya menulis sebab sering diserang perasaan ingin berada di sini, di sana, dan di mana-mana sekaligus. Semua yang saya tulis disini sebenarnya cuman mau bikin pengakuan dosa saja. Ini cuman sekedar luapan dari sampah hati saya setelah sekian lama mengendap di palung pikiran yang kedap dan padat.
Sabtu, 23 Juni 2012
Sabtu, 09 Juni 2012
Hujan. Langit. Halo!
Malaikat langit, kalau nyapu
Aku berasa dikerjain langit deh kalau pulang basah-basahan.
Malaikat langit, kalau nyapu jangan marah-marah dong. Tuh, kotorannya pada turun semua ke bumi. Jangan banting-banting barang juga, berisik!
Hoy, hujan! Sedang deposito ya di bumi? Jangan banyak-banyak, nanti kami rugi.
Langit sedang menghamili bumi.
Langit tidak sedang menangis. Langit sedang olahraga.
Sedang angkat barbel. Jakarta mandi keringat. Keringatnya langit.
Sedang ada pasar malam di langit.
Ibu-ibu surga pada belanja sambil bergosip.
Bersenggol-senggolan, minuman dan keringatnya tumpah ke bumi.
Team cheerleader langit sedang sangat bersemangat.
Keringatnya bercucuran deras sekali, sampai rambutku basah semua.
Tenggorokan langit sedang banyak reak.
Langit, kau butuh obat batuk?
Atap semesta bocor.
Langit, tertawalah! Tapi jangan kentut!
Langit tertawa-tawa sampai keluar air mata.
Apa sih yang begitu lucu? Pasti sedang mentertawakan para koruptor. Atau para perusuh kota.
Langit, matamu sedang gatal ya? Iritasi? Sini, biar kugaruk.
Langit, kau pakai parfum apa?
Semprotan parfummu sampai ke sini.
Wangi sekali. Boleh kupinjam sekali-kali?
Hei, langit sedang berorkestra. Suara bas-nya begitu membahana.
Indah, indah sekali! Siapa konduktornya? Sungguh, ingin kukecup pipinya.
Telingaku sibuk. Meneliti melodi langit.
Ting tung ting tung ting ting tung. Chis chik chis tsik tsuk.
Telingamu sibuk juga tidak?
Hujani aku dengan keringatmu, Langit.
Sibukkan mataku menghitungi bulatan-bulatan hujan.
Kecup pipiku, Hujan. Ingin kucuri aromamu.
Sampai tetes terakhir air matamu,
saat itulah huruf terakhir dari kata-kataku.
Yang sedari tadi tentangmu, Langit.
Bosankah kau? Mendengarku membicarakan langit dan tangisannya?
Salahkan langit, ia masih juga berkaca-kaca.
Kalau langit belum berhenti juga menangis, aku tidak berhenti menulis. Sekarang ia masih terisak.
Aku berasa dikerjain langit deh kalau pulang basah-basahan.
Malaikat langit, kalau nyapu jangan marah-marah dong. Tuh, kotorannya pada turun semua ke bumi. Jangan banting-banting barang juga, berisik!
Hoy, hujan! Sedang deposito ya di bumi? Jangan banyak-banyak, nanti kami rugi.
Langit sedang menghamili bumi.
Langit tidak sedang menangis. Langit sedang olahraga.
Sedang angkat barbel. Jakarta mandi keringat. Keringatnya langit.
Sedang ada pasar malam di langit.
Ibu-ibu surga pada belanja sambil bergosip.
Bersenggol-senggolan, minuman dan keringatnya tumpah ke bumi.
Team cheerleader langit sedang sangat bersemangat.
Keringatnya bercucuran deras sekali, sampai rambutku basah semua.
Tenggorokan langit sedang banyak reak.
Langit, kau butuh obat batuk?
Atap semesta bocor.
Langit, tertawalah! Tapi jangan kentut!
Langit tertawa-tawa sampai keluar air mata.
Apa sih yang begitu lucu? Pasti sedang mentertawakan para koruptor. Atau para perusuh kota.
Langit, matamu sedang gatal ya? Iritasi? Sini, biar kugaruk.
Langit, kau pakai parfum apa?
Semprotan parfummu sampai ke sini.
Wangi sekali. Boleh kupinjam sekali-kali?
Hei, langit sedang berorkestra. Suara bas-nya begitu membahana.
Indah, indah sekali! Siapa konduktornya? Sungguh, ingin kukecup pipinya.
Telingaku sibuk. Meneliti melodi langit.
Ting tung ting tung ting ting tung. Chis chik chis tsik tsuk.
Telingamu sibuk juga tidak?
Hujani aku dengan keringatmu, Langit.
Sibukkan mataku menghitungi bulatan-bulatan hujan.
Kecup pipiku, Hujan. Ingin kucuri aromamu.
Aku pencuri aroma bulan. Kamu?
Aku pengagum melodi langit. Kamu?
Mataku tak pernah sibuk. Kala menggidik pada langit, bintang-bintang menyembunyikan diri. Cih!
Sampai tetes terakhir air matamu,
saat itulah huruf terakhir dari kata-kataku.
Yang sedari tadi tentangmu, Langit.
Bosankah kau? Mendengarku membicarakan langit dan tangisannya?
Salahkan langit, ia masih juga berkaca-kaca.
Kalau langit belum berhenti juga menangis, aku tidak berhenti menulis. Sekarang ia masih terisak.
Jumat, 01 Juni 2012
Selamat Pagi, Semesta!
Kelopak pagi, harum.
Hijau semesta, tersenyum.
Biru udara, berdentum.
Aroma awan, berlari.
"Pagi," sapa Mentari.
Anak angin mengecup pipi.
Mataku menyipit.
Mengintip dari punggung Mentari.
Menanti.
Sebentar lagi,
jingga akan mencumbu biru.
Biru mendekap putih.
Lalu Mentari, menyungging senyum.
Membuai kolong semesta.
Kaki-kaki kecil, cakar-cakar mungil.
Seriosa parkit, nada-nada burung gereja.
Dansa rumput hijau, parfum tanah merah.
Dendang daun-daun. Gemerincing kecapi air.
Selamat pagi, semesta.
Semesta tak terlihat.
Semesta yang di sana.
Langganan:
Postingan (Atom)