Di dalam sini ada ketergantungan yang ingin melepaskan diri.
Ini oksimoron.
Seharusnya ketergantungan adalah kelekatan yang tak memiliki free will. Tapi di dalam sini, sesuatu itu meronta-ronta, kakinya gatal menendang-nendang, dan gusinya perih seperti akan tumbuh gigi. Ketergantungan itu menyalib kesal, menikam imaji, meremuk nyata. Ia meliuk melonjak mengubur dirinya sendiri dalam semangat yang liar.
Di dalam sini tak ada abadi atau sirna atau mati, cuma ada mimpi angan ingin yang sia yang rabun yang asu.
Kadang nyata menggedor-gedor di kepala sini, benar-benar berisik sekali, lalu lagi-lagi lupa, aku tak sedang bermimpi. Atau terbangun. Atau tertidur. Aku melesakkan kepala ke bantal-bantal dingin. Di sana tertidur kenang dan angan dan mimpi dan ingin dan angan.
Rasa ini tak begitu terasa, bahkan hambar pun tak terasa. Lidahku diputus oleh asa yang diputus oleh nyata.
Bagaimana aku menafsir tatapan? Bukan kata-kata? Bukan ucapan?
"Jika esok tak pernah datang, kuharap ia tahu betapa aku mencintainya." Ronan Keating semangat sekali berdendang dengan kata-kata cantik.
Nyata berteriak-teriaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!
Di sini diam, di sana risau, di ujung situ kacau, di ujung sana galau! Wah! Wah! Wah! Hm. Hm. Hm.
...
Aku berpikir
panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang kepalaku pusing dan tak buat apa-apa lagi selain mengais-ngais mimpi.
Di sana, di jauuuuh di sana, ada rumput yang terdiam dihajar angin. Terlalu lama sampai rumput tertatih-tatih hampir tenggelam di sungai.
Semakin didekapi, semakin dikecupi, semakin dibenci.
Langit adalah instruktur, bumi adalah permainan. Matahari adalah wasit. Bulan adalah pemain. Ah, tidak, tidak. Bulan adalah sosok kebanggaan. Yang selalu diharap bicara, atau yang dirasa sedang menatap. Yang sering muncul dalam film-film drama romantis, dan sering eksis di puisi-puisi pujangga-pujangga kasmaran kesepian.
Aku pernah gembira saat mencinta. Lalu menjadi terbiasa seperti kencing di pagi hari. Kini aku melarikan diri jauh-jauh seperti narapidana. Seperti tahanan yang mencuri dan pendosa yang murtad.
Malaikat, apakah Kau pernah menderita?