Jumat, 30 Maret 2012

Waktu

Waktu telah membungkusku dengan logika yang tak pernah nyata.
Belum-belum aku melepas diri, ia sudah balik lagi ke angka dua.

Waktu tak pernah mati, meskipun kamu tak pernah hidup.

Selasa, 27 Maret 2012

Aroma Bulan

malam adalah sahabatku.

sinar bulan adalah sahabat terbaikku.
aroma bulan adalah bagian diriku.
kamu yang mengendap-endap,
dengan hati-hati kau langkahkan kakimu,
tanpa suara,
menyembunyikan bayangan,
semakin dalam masuk ke hatiku.
hatiku mengunci pintu.
kamu yang mengendap-endap telah ketahuan.
dan kamu tak bisa lagi lari keluar.
kamu curi bagianku.
bagian hatiku.
sekarang setelah kutangkap,
takkan kubiarkan kamu keluar.
hatiku memaksa.

Minggu, 11 Maret 2012

Potret Bogor-Jakarta di Pagi Buta

Ini potret Bogor- Jakarta di pagi hari.

WHOA~ Ternyata Commuter di pagi buta penuh dengan mata-mata ngantuk. Ckckck. Baru tahu saya. Hmm... Baguslah kalau begitu. Banyak yang bisa dicopet. Ehm.

Pagi, kenapa kau begitu dingin kali ini? Apakah peringatan ozon tak mempengaruhimu?

Kasihan paru-paru orang kota.
Mereka berteriak-teriak meronta di dalam rongga dada.

Gerombolan pelari pagi.
Memeriahkan pagi dengan derap dan lagu. Seirama. Bersahutan.

Ibu-ibu penyapu jalan di depan stasiun Gambir dekat Monumen Nasional. Bermuka masam, berkerudung biru, memegang sapu yang lebih tinggi dari badannya.

Lihatlah laki-laki Indonesia yang pada congek itu. Buta pula.
Tak dengar kalau disuruh ke depan, dan tak lihat kalau di dekat pintu penuh orang.
Dan baui manusia-manusia primitif yang tak mengenal deodoran itu.

Dan, lihat, bayi-bayi para pengemis
yang sudah merangkak di lantai seng jembatan berisik.

Penjual gemblong yang seperti tak mandi.
Matahari pagi yang terhalang gendutnya gedung.
Ini potret Bogor-Jakarta di pagi hari.

Hmm. Menarik. Mata-mata ngantuk di mana-mana.
Aku akan sering menginap di restoran 24 jam kalau begini menarik.

Matahari terlambat. Ia tergesa-gesa.
Tersandung bangunan-bangunan gendut kota Jakarta.

Matahari tersandung. Langit mendung.

Butir anak awan pertama jatuh di kepala. Aku menengadah.
"Halo!" seruku pada mentari, "Jangan tersandung lagi ya!"

Matahari malu setelah tersandung. Ia tertatih-tatih.
Pipinya merona. Wajahnya tertunduk.

Sabtu, 10 Maret 2012

Siapa

Rangga Perdana1 – Mencintai lampu jalan dan wanita feminim. 2 – Menyukai cuaca buruk di perjalanan udara. 3 - Suka menulis-membaca puisi dan surat. 4 - Tidak menyukai bacotan dan para pemarah. 5 - Menyukai film dan membenci game online. 6 – Suka tidur berlama-lama setelah begadang berlama-lama. 7 – Boros dan tak biasa menyanyi di kamar mandi. 8 – Mencintai sayuran dan ikan laut. 9 – Ingin punya anak kembar emas. 10 – Bercita-cita bisa melukis tapi yakin tak bisa melukis. 11 – Ingin punya jendela lebar di kamarnya dan kaca yang besar menutupi dinding. 12 – Tak bermasalah jika ditanya–silakan tanya kalau masih mau tahu lebih banyak! — @ranggaperdana

Jumat, 09 Maret 2012

Mana lebih baik?

Orang buta gak bisa lihat. Orang dusta selalu jahat.

Orang bisu gak bisa ngomong. Orang palsu selalu bohong.
Lebih baik fisik yang lumpuh daripada hati yang rapuh.
Lebih baik cacat fisik daripada berhati fasik.

Malaikat, apakah Kau pernah menderita?

Di dalam sini ada ketergantungan yang ingin melepaskan diri. 
Ini oksimoron. 
Seharusnya ketergantungan adalah kelekatan yang tak memiliki free will. Tapi di dalam sini, sesuatu itu meronta-ronta, kakinya gatal menendang-nendang, dan gusinya perih seperti akan tumbuh gigi. Ketergantungan itu menyalib kesal, menikam imaji, meremuk nyata. Ia meliuk melonjak mengubur dirinya sendiri dalam semangat yang liar. 
Di dalam sini tak ada abadi atau sirna atau mati, cuma ada mimpi angan ingin yang sia yang rabun yang asu.
Kadang nyata menggedor-gedor di kepala sini, benar-benar berisik sekali, lalu lagi-lagi lupa, aku tak sedang bermimpi. Atau terbangun. Atau tertidur. Aku melesakkan kepala ke bantal-bantal dingin. Di sana tertidur kenang dan angan dan mimpi dan ingin dan angan.
Rasa ini tak begitu terasa, bahkan hambar pun tak terasa. Lidahku diputus oleh asa yang diputus oleh nyata. 
Bagaimana aku menafsir tatapan? Bukan kata-kata? Bukan ucapan?
"Jika esok tak pernah datang, kuharap ia tahu betapa aku mencintainya." Ronan Keating semangat sekali berdendang dengan kata-kata cantik. 
Nyata berteriak-teriaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!
Di sini diam, di sana risau, di ujung situ kacau, di ujung sana galau! Wah! Wah! Wah! Hm. Hm. Hm.
...
Aku berpikir 
panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang kepalaku pusing dan tak buat apa-apa lagi selain mengais-ngais mimpi.
Di sana, di jauuuuh di sana, ada rumput yang terdiam dihajar angin. Terlalu lama sampai rumput tertatih-tatih hampir tenggelam di sungai. 
Semakin didekapi, semakin dikecupi, semakin dibenci.
Langit adalah instruktur, bumi adalah permainan. Matahari adalah wasit. Bulan adalah pemain. Ah, tidak, tidak. Bulan adalah sosok kebanggaan. Yang selalu diharap bicara, atau yang dirasa sedang menatap. Yang sering muncul dalam film-film drama romantis, dan sering eksis di puisi-puisi pujangga-pujangga kasmaran kesepian. 
Aku pernah gembira saat mencinta. Lalu menjadi terbiasa seperti kencing di pagi hari. Kini aku melarikan diri jauh-jauh seperti narapidana. Seperti tahanan yang mencuri dan pendosa yang murtad.
Malaikat, apakah Kau pernah menderita?